Powered By Blogger

Sabtu, 11 Januari 2014

Satu Gereja Memeluk Islam



Ada seorang pemuda Arab yang baru saja menyelesaikan bangku kuliahnya di Amerika. Pemuda ini adalah salah seorang yang diberi nikmat oleh Allah berupa pendidikan agama Islam bahkan dia mampu mendalaminya. Selain belajar, dia juga seorang juru dakwah Islam.
 

Ketika berada di Amerika, dia berkenalan dengan salah seorang Nasrani. Hubungan mereka semakin akrab, dengan harapan semoga Allah s.w.t. memberinya hidayah masuk Islam.


Pada suatu hari mereka berdua berjalan-jalan di sebuah perkampungan di Amerika dan melintas dekat sebuah gereja yang terdapat di kampung tersebut. Temannya itu meminta agar dia turut masuk ke dalam gereja.
 

Mula mula dia keberatan, namun karena desakan akhirnya pemuda itu pun memenuhi permintaannya lalu ikut masuk ke dalam gereja dan duduk di salah satu bangku dengan hening, sebagaimana kebiasaan mereka. Ketika paderi masuk, mereka serentak berdiri untuk memberikan penghormatan lantas kembali duduk. Di saat itu, si paderi agak terbeliak ketika melihat kepada para hadirin dan berkata,
 

“Di tengah kita ada seorang Muslim. Aku harap dia keluar dari sini.”
Pemuda Arab itu tidak bergerak dari tempatnya. Paderi tersebut mengucapkan perkataan itu berkali-kali, namun dia tetap tidak bergerak dari tempatnya. Hingga akhirnya paderi itu berkata,

“Aku minta dia keluar dari sini dan aku menjamin keselamatannya.”
Barulah pemuda ini beranjak keluar. Di ambang pintu, pemuda bertanya kepada sang paderi,
“Bagaimana anda tahu bahwa saya seorang Muslim?”
Paderi itu menjawab,
“Dari tanda yang terdapat di wajahmu.
”Kemudian dia beranjak hendak keluar. Namun, paderi ingin memanfaatkan keberadaan pemuda ini dengan mengajukan beberapa pertanyaan, tujuannya untuk memalukan pemuda tersebut dan sekaligus mengukuhkan ugamanya. Pemuda Muslim itupun menerima tentangan debat tersebut. Paderi berkata,“Aku akan mengajukan kepada anda 22 pertanyaan dan anda harus menjawabnya dengan tepat.”Si pemuda tersenyum dan berkata,
“Silakan!”Sang paderi pun mulai bertanya,
“Sebutkan satu yang tiada duanya

dua yang tiada tiganya,
tiga yang tiada empatnya,
empat yang tiada limanya,
lima yang tiada enamnya,
enam yang tiada tujuhnya,
tujuh yang tiada lapannya,
lapan yang tiada sembilannya,
sembilan yang tiada sepuluhnya,
sesuatu yang tidak lebih dari sepuluh,
sebelas yang tiada dua belasnya,
dua belas yang tiada tiga belasnya,
tiga belas yang tiada empat belasnya.”

“Sebutkan sesuatu yang dapat bernafas namun tidak mempunyai roh!

Apa yang dimaksud dengan kuburan berjalan membawa isinya?

Siapakah yang berdusta namun masuk ke dalam syurga?

Sebutkan sesuatu yang diciptakan Allah namun Dia tidak menyukainya?

Sebutkan sesuatu yang diciptakan Allah dengan tanpa ayah dan ibu!”

“Siapakah yang tercipta dari api, siapakah yang di azab dengan api dan siapakah yang terpelihara dari api?

Siapakah yang tercipta dari batu, siapakah yang diazab dengan batu dan siapakah yang terpelihara dari batu?”

“Sebutkan sesuatu yang diciptakan Allah dan dianggap besar! Pohon apakah yang mempunyai 12 ranting, setiap ranting mempunyai 30 daun, setiap daun mempunyai 5 buah, 3 di bawah naungan dan dua di bawah sinaran matahari?”


Mendengar pertanyaan tersebut, pemuda itu tersenyum dengan keyakinan kepada Allah.

Setelah membaca Basmalah dia berkata,

-Satu yang tiada duanya ialah Allah s.w.t..
-Dua yang tiada tiganya ialah Malam dan Siang. Allah s.w.t. berfirman, “Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda (kebesaran kami).”(Al-Isra’: 12).
-Tiga yang tiada empatnya adalah kesilapan yang dilakukan Nabi Musa ketika Khidir menenggelamkan sampan, membunuh seorang anak kecil dan ketika menegakkan kembali dinding yang hampir roboh.
-Empat yang tiada limanya adalah Taurat, Injil, Zabur dan al-Qur’an.
-Lima yang tiada enamnya ialah Solat lima waktu.
-Enam yang tiada tujuhnya ialah jumlah Hari ketika Allah s.w.t. menciptakan makhluk.
-Tujuh yang tiada lapannya ialah Langit yang tujuh lapis. Allah s.w.t. berfirman, “Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Rabb Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang.” (Al-Mulk: 3).
-Lapan yang tiada sembilannya ialah Malaikat pemikul Arsy ar-Rahman. Allah s.w.t. berfirman, “Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu delapan orang malaikat men-junjung ‘Arsy Rabbmu di atas (kepala) mereka.” (Al-Haqah: 17).
-Sembilan yang tiada sepuluhnya adalah mu’jizat yang diberikan kepada Nabi Musa yaitu: tongkat, tangan yang bercahaya, angin topan, musim paceklik, katak, darah, kutu dan belalang.
-Sesuatu yang tidak lebih dari sepuluh ialah Kebaikan. Allah s.w.t. berfirman, “Barang siapa yang berbuat kebaikan maka untuknya sepuluh kali lipat.” (Al-An’am: 160).
-Sebelas yang tiada dua belasnya ialah jumlah Saudara-Saudara Nabi Yusuf .
-Dua belas yang tiada tiga belasnya ialah Mu’jizat Nabi Musa yang terdapat dalam firman Allah, “Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman, ‘Pukullah batu itu dengan tongkatmu.’ Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air.” (Al-Baqarah: 60).
-Tiga belas yang tiada empat belasnya ialah jumlah Saudara Nabi Yusuf ditambah dengan ayah dan ibunya.

Adapun sesuatu yang bernafas namun tidak mempunyai roh adalah waktu Subuh. Allah s.w.t. ber-firman, “Dan waktu subuh apabila fajarnya mulai menyingsing.” (At-Takwir: 18).

Kuburan yang membawa isinya adalah Ikan yang menelan Nabi Yunus AS.

Mereka yang berdusta namun masuk ke dalam syurga adalah saudara-saudara Nabi Yusuf , yakni ketika mereka berkata kepada ayahnya, “Wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergi berlumba-lumba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala.” Setelah kedustaan terungkap, Yusuf berkata kepada mereka, ” tak ada cercaan terhadap kamu semua.” Dan ayah mereka Ya’qub berkata, “Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Rabbku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yusuf:98)

Sesuatu yang diciptakan Allah namun tidak Dia sukai adalah suara Keldai. Allah s.w.t. berfirman, “Sesungguhnya sejelek-jelek suara adalah suara keledai.” (Luqman: 19).

Makhluk yang diciptakan Allah tanpa bapa dan ibu adalah Nabi Adam, Malaikat, Unta Nabi Shalih dan Kambing Nabi Ibrahim.

Makhluk yang diciptakan dari api adalah Iblis, yang diazab dengan api ialah Abu Jahal dan yang terpelihara dari api adalah Nabi Ibrahim. Allah s.w.t. berfirman, “Wahai api dinginlah dan selamatkan Ibrahim.” (Al-Anbiya’: 69).

Makhluk yang terbuat dari batu adalah Unta Nabi Shalih, yang diazab dengan batu adalah tentara bergajah dan yang terpelihara dari batu adalah Ashabul Kahfi (penghuni gua).

Sesuatu yang diciptakan Allah dan dianggap perkara besar adalah Tipu Daya wanita, sebagaimana firman Allah s.w.t.? “Sesungguhnya tipu daya kaum wanita itu sangatlah besar.” (Yusuf: 28).

Adapun pohon yang memiliki 12 ranting setiap ranting mempunyai 30 daun, setiap daun mempunyai 5 buah, 3 di bawah teduhan dan dua di bawah sinaran matahari maknanya: Pohon adalah Tahun, Ranting adalah Bulan, Daun adalah Hari dan Buahnya adalah Solat yang lima waktu, Tiga dikerjakan di malam hari dan Dua di siang hari.


Paderi dan para hadirin merasa takjub mendengar jawapan pemuda Muslim tersebut. Kemudian dia pun mula hendak pergi. Namun dia mengurungkan niatnya dan meminta kepada paderi agar menjawab satu pertanyaan saja. Permintaan ini disetujui oleh paderi. Pemuda ini berkata,

“Apakah kunci syurga itu?”

Mendengar pertanyaan itu lidah paderi menjadi kelu, hatinya diselimuti keraguan dan rupa wajahnya pun berubah. Dia berusaha menyembunyikan kekuatirannya, namun tidak berhasil. Orang-orang yang hadir di gereja itu terus mendesaknya agar menjawab pertanyaan tersebut, namun dia cuba mengelak. Mereka berkata,

“Anda telah melontarkan 22 pertanyaan kepadanya dan semuanya dia jawab, sementara dia hanya memberi cuma satu pertanyaan namun anda tidak mampu menjawabnya!”

Paderi tersebut berkata,

“Sesungguh aku tahu jawapannya, namun aku takut kalian marah.”

Mereka menjawab,

“Kami akan jamin keselamatan anda.”

Paderi pun berkata,

“Jawapannya ialah: Asyhadu An La Ilaha Illallah Wa Wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah.”

Lantas paderi dan orang-orang yang hadir di gereja itu terus memeluk agama Islam. Sungguh Allah telah menganugerahkan kebaikan dan menjaga mereka dengan Islam melalui tangan seorang pemuda Muslim yang bertakwa.

JUBAH UNTUK IBU



“Apa nak jadi dengan kau ni Along? Bergaduh! Bergaduh! Bergaduh! " Kenapa kau degil sangat ni? Tak boleh ke kau buat sesuatu yang baik, yang tak menyusahkan aku?”, marah ibu. Along hanya membungkam. Tidak menjawab sepatah apapun...

“Kau tu dah besar Along. Masuk kali ni dah dua kali kau ulang ambil SPM, tapi kau asyik buat hal di sekolah. Cubalah kau ikut macam Angah dengan Alang tu. Kenapa kau susah sangat nak dengar nasihat orang hah?”, leter ibu lagi.

Suaranya kali ini sedikit sebak bercampur marah. Along terus membatukan diri. Tiada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Seketika dia melihat si ibu berlalu pergi dan kembali semula dengan rotan di tangannya. Kali ini darah Along mula menderau. Dia berdoa dalam hati agar ibu tidak memukulnya lagi seperti selalu.

“Sekarang kau cakap, kenapa kau bergaduh tadi? Kenapa kau pukul anak pengetua tu? Cakap Along, cakap!” Jerkah ibu. Along semakin berdebar-debar namun dia tidak dapat berkata-kata. Suaranya bagai tersekat dikerongkong. Malah, dia juga tidak tahu bagaimana hendak menceritakan hal sebenar. Si ibu semakin bengang...

Jadi betul la kau yang mulakan pergaduhan ye!? Nanti kau, suka sangat cari penyakitkan, sekarang nah,rasakan!” Si ibu merotan Along berkali-kali dan berkali-kali jugaklah Along menjerit kesakitan.

Sakit bu…sakit….maafkan Along bu, Along janji tak buat lagi….Bu, jangan pukul bu… sakit bu… ”Along meraung meminta belas si ibu agar tidak merotannya lagi. “Tau sakit ye, kau bergaduh kat sekolah tak rasa sakit?” Balas ibu lagi. Kali ini semakin kuat pukulan si ibu menyirat tubuh Along yang kurus itu.

Bu…ampunkan Along bu…bukan Along yang mulakan…bukan Along... bu, sakit bu..!!”, rayu Along dengan suara yang tersekat-sekat menahan pedih. Along memaut kaki si ibu.

Berkali-kali dia memohon maaf daripada ibunya namun siratan rotan tetap mengenai tubuhnya. Along hanya mampu berdoa. Dia tidak berdaya lagi menahan tangisnya. Tangis bukan kerana sakitnya dirotan, tapi kerana memikirkan tidak jemukah si ibu merotannya setiap hari. Setelah hatinya puas, si ibu mula berhenti merotan Along. Tangan Along yang masih memaut kakinya itu di tepis kasar. Along menatap mata ibu. Ada manik-manik kaca yang bersinar di kelopak mata si ibu.

Along memandang dengan sayu. Hatinya sedih kerana telah membuatkan ibunya menangis lagi kerananya. Malam itu, Along berjaga sepanjang malam.. Entah mengapa matanya tidak dapat dilelapkan. Dia asyik teringatkan peristiwa dirotan ibu petang tadi. Begitulah yang berlaku apabila ibu marahkannya. Tapi kali ini marah ibu sangat memuncak. Mungkin kerana dia menumbuk anak pengetua sewaktu di sekolah tadi menyebabkan pengetua hilang sabar dan memanggil ibunya ke sekolah untuk membuat aduan kesekian kalinya.

Sewaktu di bilik pengetua, Along sempat menjeling ibu di sebelah.. namun, dia tidak diberi kesempatan untuk bersuara. Malah, semua kesalahan itu di dilemparkan kepadanya seorang. Si Malik anak pengetua itu bebas seolah-olah sedikit pun tidak bersalah dalam hal ini. Along mengesat sisa-sisa air mata yang masih bertakung di kelopak matanya.

Seketika wajah ibu menjelma diruang ingatannya. Wajah ibu suatu ketika dahulu sangat mendamaikan pada pandangan matanya. Tetapi, sejak dia gagal dalam SPM, kedamaian itu semakin pudar dan hanya kelihatan biasa dan kebencian di wajah tua itu. Tetapi Along tidak pernah ambil hati dengan sikap ibu walau adakalanya kata-kata orang tua itu menyakiti hatinya.

Along sayang pada ibu. Dialah satu-satunya ibu yang Along ada walaupun kasih ibu tidak semekar dahulu lagi. Along mahu meminta maaf. Dia tidak mahu menjadi anak derhaka.

Seminggu selepas peristiwa itu, si ibu masih tidak mahu bercakap dengannya. Jika ditanya, hanya sepatah dijawab ibu. Itupun acuh tidak acuh sahaja. Pulang dari sekolah, Along terus menuju ke dapur. Dia mencangak mencari ibu kalau-kalau orang kesayangannya itu ada di situ. Along tersenyum memandang ibu yang terbongkok-bongkok mengambil sudu di bawah para dan kemudian mencacap makanan yang sedang dimasak itu. Dia nekad mahu menolong.

Mudah-mudahan usahanya kali ini berjaya mengambil hati ibu. Namun, belum sempat dia melangkah ke dapur, adik perempuannya yang baru pulang daripada mengaji terus meluru ke arah ibu. Along terperanjat dan cuba berselindung di sebalik pintu sambil memerhatikan mereka.

“Ibu.. ibu masak apa ni? Banyaknya lauk, ibu nak buat kenduri ye!?” Tanya Atih kehairanan. Dia tidak pernah melihat ibunya memasak makanan yang pelbagai jenis seperti itu. Semuanya enak-enak belaka. Si ibu yang lincah menghiris sayur hanya tersenyum melihat keletah anak bongsunya itu. Sementara Along disebalik pintu terus memerhatikan mereka sambil memasang telinganya.

“Ibu, Atih nak rasa ayam ni satu boleh?” “ Eh... jangan, nanti dulu… Ibu tau Atih lapar, tapi tunggulah Kak Ngah dengan Alang balik dulu. Nanti kita makan sekali. Pergi naik atas mandi dan tukar baju dulu ye!”, si ibu bersuara lembut. Along menarik nafas panjang dan melepaskannya perlahan. ‘anak-anak kesayangan ibu nak balik rupanya…’ bisik hati kecil Along. “Kak Ngah dengan Alang nak balik ke ibu?”, soalnya lagi masih belum berganjak dari dapur. Si ibu mengangguk sambil tersenyum. Di wajahnya jelas menampakkan kebahagiaan. “Oooo patutlah ibu masak lauk banyak-banyak.

"Mmm.... bu, tapi Atih pelik la.... Kenapa bila Along balik, ibu tak masak macam ni pun?”. Along terkejut mendengar soalan Atih. Namun dia ingin sekali tahu apa jawapan dari ibunya. “Along kan hari-hari balik rumah? Kak Ngah dengan Alang lain, diorang kan duduk asrama, balik pun sebulan sekali ja!”, terang si ibu. “Tapi, ibu tak penah masak lauk macam ni dekat Along pun..”, soal Atih lagi.

Dahinya sedikit berkerut dek kehairanan. Along mula terasa sebak. Dia mengakui kebenaran kata-kata adiknya itu namun dia tidak mahu ada perasaan dendam atau marah walau secalit pun pada ibu yang sangat disayanginya.

“Dah tu, pergi mandi cepat. Kejap lagi kita pergi ambil Kak Ngah dengan Alang dekat stesen bas.” , arah ibu. Dia tidak mahu Atih mengganggu kerja-kerjanya di dapur dengan menyoal yang bukan-bukan. Malah ibu juga tidak senang jika Atih terus bercakap tentang Along. Pada ibu, Along anak yang derhaka yang selalu menyakiti hatinya. Apa yang dikata tidak pernah didengarnya. Selalu pula membuat hal di sekolah mahupun di rumah. Disebabkan itulah ibu semakin hilang perhatian pada Along dek kerana marah dan kecewanya.

Selepas ibu dan Atih keluar, Along juga turut keluar. Dia menuju ke Pusat Bandar sambil jalan-jalan buat menghilangkan tekanannya. Tiba di satu kedai, kakinya tiba-tiba berhenti melangkah. Matanya terpaku pada sepasang jubah putih berbunga ungu yang di lengkapi dengan tudung bermanik.

‘Cantiknya, kalau ibu pakai mesti lawa ni….’ Dia bermonolog sendiri. Along melangkah masuk ke dalam kedai itu. Sedang dia membelek-belek jubah itu, bahunya tiba-tiba disentuh seseorang. Dia segera menoleh. Rupa-rupanya itu Fariz, sahabatnya. “La…kau ke, apa kau buat kat sini?”, tanya Along ingin tahu sambil bersalaman dengan Fariz. “Aku tolong jaga butik kakak aku. Kau pulak buat apa kat sini?”, soalnya pula. “Aku tak de buat apa-apa, cuma nak tengok-tengok baju ni. Aku ingat nak kasi mak aku!”, jelas Along jujur. “waa…bagusla kau ni Azam. Kalau kau nak beli aku bagi less 50%. Macammana...?”

Terlopong mulut Along mendengar tawaran Fariz itu. “Betul ke ni Riz? Nanti marah kakak kau!”, Along meminta kepastian. “Untuk kawan baik aku, kakak aku mesti bagi punya!”, balas Fariz meyakinkannya. “Tapi aku kena beli minggu depan la. Aku tak cukup duit sekarang ni.” Cerita Along agak keseganan. Fariz hanya menepuk mahunya sambil tersenyum. “Kau ambik dulu, lepas tu kau bayar sikit-sikit.” kata Fariz.

Along hanya menggelengkan kepala tanda tidak setuju. Dia tidak mahu berhutang begitu. Jika ibunya tahu, mesti dia dimarahi silap-silap dipukul lagi. “Dekat kau ada berapa ringgit sekarang ni?”, soal Fariz yang benar-benar ingin membantu sahabatnya itu. Along menyeluk saku seluarnya dan mengeluarkan dompet berwarna hitam yang semakin lusuh itu. “Tak sampai sepuluh ringgit pun Riz, tak pe lah, aku datang beli minggu depan. Kau jangan jual dulu baju ni tau!”, pesan Along bersungguh-sungguh. Fariz hanya mengangguk senyum.

Hari semakin lewat. Jarum pendek sudah melangkaui nombor tujuh. Setelah tiba, kelihatan Angah dan Alang sudah berada di dalam rumah. Mereka sedang rancak berbual dengan ibu di ruang tamu. Dia menoleh ke arah mereka seketika kemudian menuju ke dapur. Perutnya terasa lapar sekali kerana sejak pulang dari sekolah petang tadi dia belum makan lagi.

Penutup makanan diselak. Syukur masih ada sisa lauk-pauk yang ibu masak tadi bersama sepinggan nasi di atas meja. Tanpa berlengah dia terus makan sambil ditemani Si Tomei, kucing kesayangan arwah  ayahnya.

“Baru nak balik waktu ni? Buat hal apa lagi kat luar tu?”, soalan ibu yang bernada sindir itu tiba-tiba membantutkannya daripada menghabiskan sisa makanan di dalam pinggan. “Kenapa tak makan kat luar ja? Tau pulak, bila lapar nak balik rumah!”, leter ibu lagi. Along hanya diam. Dia terus berusaha mengukir senyum dan membuat muka selamber seperti tidak ada apa-apa yang berlaku. Tiba-tiba Angah dan Alang menghampirinya di meja makan. Mereka berdiri di sisi ibu yang masih memandang ke arahnya seperti tidak berpuas hati.

“Along ni teruk tau. Suka buat ibu susah hati. Kerana Along, ibu kena marah dengan pengetua tu.” Marah Angah, adik perempuannya yang sedang belajar di MRSM. Along mendiamkan diri. Diikutkan hati, mahu saja dia menjawab kata-kata adiknya itu tetapi melihat kelibat ibu yang masih di situ, dia mengambil jalan untuk membisu sahaja. “Along! Kalau tak suka belajar, berhenti je la. Buat je kerja lain yang berfaedah daripada menghabiskan duit ibu”, sampuk Alang, adik lelakinya yang menuntut di sekolah berasrama penuh. Kali ini kesabarannya benar-benar tercabar.

Hatinya semakin terluka melihat sikap mereka semua. Dia tahu, pasti ibu mengadu pada mereka. Along mengangkat mukanya memandang wajah ibu. Wajah tua si ibu masam mencuka. Along tidak tahan lagi. Dia segera mencuci tangan dan meluru ke biliknya. Perasaannya jadi kacau. Fikirannya bercelaru.. Hatinya pula jadi tidak keruan memikirkan kata-kata mereka. Along sedar, kalau dia menjawab, pasti ibu akan semakin membencinya.Along nekad, esok pagi-pagi, dia akan tinggalkan rumah. Dia akan mencari kerja di Bandar.

Kebetulan cuti sekolah selama seminggu bermula esok. Seperti yang dinekadkan, pagi itu selesai solat subuh, Along terus bersiap-siap dengan membawa beg sekolah berisi pakaian, Along keluar daripada rumah tanpa ucapan selamat. Dia sekadar menyelitkan nota buat si ibu menyatakan bahawa dia mengikuti program sekolah berkhemah di hutan selama seminggu. Niatnya sekadar mahu mencari ketenangan selama beberapa hari justeru dia terpaksa berbohong agar ibu tidak bimbang dengan tindakannya itu.

Along menunggang motorsikalnya terus ke Pusat Bandar untuk mencari pekerjaan. Nasib menyebelahinya, tengah hari itu, dia diterima bekerja dengan Abang Joe sebagai pembantu di bengkel membaiki motorsikal dengan upah lima belas ringgit sehari, dia sudah rasa bersyukur dan gembira. Gembira kerana tidak lama lagi, dia dapat membeli jubah untuk ibu.

Hari ini hari ke empat Along keluar daripada rumah. Si ibu sedikit gelisah memikirkan apa yang dilakukan Along di luar. Dia juga berasa agak rindu dengan Along. Entah mengapa hati keibuannya agak tersentuh setiap kali terpandang bilik Along. Tetapi kerinduan dan kerisauan itu terubat apabila melihat gurau senda anak-anaknya yang lain.

Seperti selalu, Along bekerja keras membantu Abang Joe di bengkelnya.  Sikap Abang Joe yang baik dan kelakar itu sedikit sebanyak mengubat hatinya yang luka. Abang Joe baik. Dia banyak membantu Along antaranya menumpangkan Along di rumahnya dengan percuma.

“Azam, kalau aku tanya kau jangan marah k!”, soal Abang Joe tiba-tiba sewaktu mereka menikmati nasi bungkus tengah hari itu. “Macam serius jer bunyinya Abang Joe?” Along kehairanan. “Sebenarnya, kau lari dari rumah kan ?” Along tersedak mendengar soalan itu. Nasi yang disuap ke dalam mulut tersembur keluar. Matanya juga kemerah-merahan menahan sedakan.Melihat keadaan Along itu, Abang Joe segera menghulurkan air. “Kenapa lari dari rumah? Bergaduh dengan parents?” Tanya Abang Joe lagi cuba menduga. Soalan Abang Joe itu benar-benar membuatkan hati Along sebak.

Along mendiamkan diri. Dia terus menyuap nasi ke dalam mulut dan mengunyah perlahan. Dia cuba menundukkan mukanya cuba menahan perasaan sedih. “Azam, kau ada cita-cita tak… ataupun impian ker…? ” Abang Joe mengubah topik setelah melihat reaksi Along yang kurang selesa dengan soalannya tadi. “ Ada ” jawab Along pendek “Kau nak jadi apa besar nanti? Jurutera? Doktor? Cikgu? Pemain bola? Mekanik macam aku… atau..” Along menggeleng-gelengkan kepala.

“Semua tak... cuma satu jer..., saya nak mati dalam pangkuan ibu saya". Jawab Along disusuli ketawanya. Abang Joe melemparkan tulang ayam ke arah Along yang tidak serius menjawab soalannya itu. “Ala , gurau jer.. la Abang Joe. Sebenarnya saya nak bawa ibu saya ke Mekah dan saya saya nak jadi anak yang soleh!”. Perlahan sahaja suaranya namun masih jelas didengari telinga Abang Joe. Abang Joe tersenyum mendengar jawapannya.

Dia bersyukur di dalam hati kerana mengenali seorang anak yang begitu baik. Dia sendiri sudah bertahun-tahun membuka bengkel itu namun belum pernah ada cita-cita mahu menghantar ibu ke Mekah. Setelah tamat waktu rehat, mereka menyambung kerja masing-masing. Tidak seperti selalu, petang itu Along kelihatan banyak berfikir.

Mungkin terkesan dengan soalan Abang Joe sewaktu makan tadi. “Abang Joe, hari ni, saya nak balik rumah terima kasih banyak kerana jaga saya beberapa hari ni”, ucap Along sewaktu selesai menutup pintu bengkel. Abang Joe yang sedang mencuci tangannya hanya mengangguk.

Sebelum berlalu, Along memeluk lelaki bertubuh sasa itu. Ini menyebabkan Abang Joe terasa agak sebak. “Abang Joe, jaga diri baik-baik. Barang-barang yang saya tinggal kat rumah Abang Joe tu, saya hadiahkan untuk Abang Joe.” Kata Along lagi. “Tapi, kau kan boleh datang bila-bila yang kau suka ke rumah aku!?”, soal Abang Joe.

Dia risau kalau-kalau Along menyalah anggap tentang soalannya tadi. Along hanya senyum memandangnya. “Tak apa, saya bagi kat Abang Joe. Abang Joe, terima kasih banyak ye! Saya rasa tak mampu nak balas budi baik abang. Tapi, saya doakan perniagaan abang ni semakin maju.” Balasnya dengan tenang. Sekali lagi Abang Joe memeluknya bagai seorang abang memeluk adiknya yang akan pergi jauh.

Berbekalkan upahnya, Along segera menuju ke butik kakak Fariz untuk membeli jubah yang diidamkannya itu. Setibanya di sana, tanpa berlengah dia terus ke tempat di mana baju itu disangkut. “ Hey Azam, mana kau pergi? Hari tu mak kau ada tanya aku pasal kau. Kau lari dari rumah ke?”, soal Fariz setelah menyedari kedatangan sahabatnya itu.

Along hanya tersengeh menampakkan giginya. “Zam, mak kau marah kau lagi ke? Kenapa kau tak bagitau hal sebenar pasal kes kau tumbuk si Malik tu?” “Takpelah, perkara dah berlalu... lagipun, aku tak nak ibu aku terasa hati kalau dia dengar tentang perkara ni”, terang Along dengan tenang. “Kau jadi mangsa. Tengok, kalau kau tak bagitau, mak kau ingat kau yang salah”, kata Fariz lagi. “Tak apalah Riz, aku tak nak ibu aku sedih. Lagipun aku tak kisah.”

“Zam... kau ni..”, “Aku ok, lagipun aku sayang dekat ibu aku. Aku tak nak dia sedih dan ingat kisah lama tu.” Jelas Along memotong kata-kata si sahabat yang masih tidak berpuas hati itu. “Aku nak beli jubah ni Riz. Kau tolong balutkan ek, jangan lupa lekat kad ni sekali, k!” pinta Along sambil menyerahkan sekeping kad berwarna merah jambu. “No problem…tapi, mana kau dapat duit? Kau kerja ke?”, soal Fariz ingin tahu. “Aku kerja kat bengkel Abang Joe. Jadi pembantu dia”, terang Along. “Abang Joe mana ni?” “Yang buka bengkel motor kat Jalan Selasih sebelah kedai makan pakcik kantin kita tu!”, jelas Along dengan panjang lebar. Fariz mengangguk.

“Azam, kau nak bagi hadiah ni kat mak kau bila?” “Hari ni la…” balas Along. “Ooo hari lahir ibu kau hari ni ek?” “Bukan, minggu depan…” “Habis?. Kenapa kau tak tunggu minggu depan je?”, soal Fariz lagi. “Aku rasa hari ni je yang yang sempat untuk aku bagi hadiah ni. Lagipun, aku harap lepas ni ibu aku tak marah aku lagi.”Jawabnya sambil mengukir senyum. Along keluar daripada kedai. Kelihatan hujan mulai turun.

Namun Along tidak sabar menunggu untuk segera menyerahkan hadiah itu untuk ibu. Sambil menunggang, Along membayangkan wajah ibu yang sedang tersenyum menerima hadiahnya itu. Motosikalnya sudah membelok ke Jalan Nuri II. Tiba di simpang hadapan lorong masuk ke rumahnya, sebuah kereta wira yang cuba mengelak daripada melanggar seekor kucing hilang kawalan dan terus merempuh Along dari depan yang tidak sempat mengelak. Akibat perlanggaran yang kuat itu, Along terpelanting ke tengah jalan dan mengalami hentakan yang kuat di kepala dan belakangnya. Topi keledar yang dipakai mengalami retakan dan tercabut daripada kepalanya.

Along membuka matanya perlahan-lahan dan terus mencari hadiah untuk si ibu dan dengan sisa kudrat yang ada, dia cuba mencapai hadiah yang tercampak berhampirannya itu. Dia menggenggam kuat cebisan kain dan kad yang terburai dari kotak itu.

Darah semakin membuak-buak keluar dari hidungnya. Kepalanya juga terasa sangat berat, pandangannya berpinar-pinar dan nafasnya semakin tersekat-sekat. Dalam keparahan itu, Along melihat kelibat orang–orang yang sangat dikenalinya sedang berlari ke arahnya. Serta merta tubuhnya terus dirangkul seorang wanita. Dia tahu, wanita itu adalah ibunya.....



Terasa bahagia sekali apabila dahinya dikucup saat itu. Along gembira. Itu kucupan daripada ibunya.

Dia juga dapat mendengar suara Angah, Alang dan Atih memanggil-manggil namanya. Namun tiada suara yang keluar dari kerongkongnya saat itu. Along semakin lemah. Namun, dia kuatkan semangat dan cuba menghulurkan jubah dan kad yang masih digenggamannya itu. “Ha..hadiah untuk…ibu" ucapnya sambil berusaha mengukir senyuman. Senyuman terakhir buat ibu yang sangat dicintainya. Si ibu begitu sebak dan sedih. Si anak dipeluknya sambil dicium berkali-kali. Air matanya merembes keluar bagai tidak dapat ditahan lagi. Pandangan Along semakin kelam. Sebelum matanya tertutup rapat, terasa ada air hangat yang menitik ke wajahnya.

Akhirnya, Along terkulai dalam pangkuan ibu dan dia pergi untuk selama-lamanya. Selesai upacara pengebumian, si ibu terus duduk di sisi kubur Along bersama Angah, Alang dan Atih. Dengan lemah, wanita itu mengeluarkan bungkusan yang hampir relai dari beg tangannya. Sekeping kad berwarna merah jambu bertompok darah yang kering dibukanya lalu dibaca...;

‘Buat ibu yang sangat dikasihi, ampunkanlah salah silap along selama ini. Andai along melukakan hati ibu, along pinta sejuta kemaafan. Terimalah maaf along bu.. Along janji tak akan membuatkan ibu marah lagi. Ibu.., Along sayang ibu selama-lamanya. Selamat hari lahir ibu dan terimalah hadiah ini..UNTUKMU IBU!’

Kad itu dilipat dan dicium. Air mata yang bermanik mula berjurai membasahi pipi. Begitu juga perasaan yang dirasai Angah, Alang dan Atih. Masing-masing berasa pilu dan sedih dengan pemergian seorang abang yang selama ini disisihkan. Sedang melayani perasaan masing-masing, Fariz tiba-tiba muncul.

Dia terus mendekati wanita tua itu lalu mencurahkan segala apa yang dipendamnya selama ini. “Makcik, ampunkan segala kesalahan Azam. Azam tak bersalah langsung dalam kes pergaduhan tu makcik. Sebenarnya, waktu Azam dan saya sibuk menyiapkan lukisan, Malik datang dekat kami.. Dia sengaja cari pasal dengan Azam dengan menumpahkan warna air dekat lukisan Azam.

Lepas tu, dia ejek-ejek Azam. Dia cakap Azam anak pembunuh. Bapa Azam seorang pembunuh dan dia jugak cakap, ibunya seorang perempuan gila" cerita Fariz dengan nada sebak. Si ibu terkejut mendengarnya. Terbayang diruang matanya pada ketika dia merotan Along kerana kesalahan menumbuk Malik.

“Tapi, kenapa arwah tidak ceritakan pada makcik Fariz?” Soalnya dengan sedu sedan, “Sebab… dia tak mahu makcik sedih dan teringat kembali peristiwa dulu. Dia cakap, dia tak nak makcik jatuh sakit lagi, dia tak nak mengambil semua ketenangan yang makcik ada sekarang walaupun dia disalahkan, dia terima. Tapi dia tak sanggup tengok makcik dimasukkan ke hospital sakit jiwa semula….” Terang Fariz lagi.

Dia berasa puas kerana dapat menyatakan kebenaran bagi pihak sahabatnya itu. Si ibu terdiam mendengar penjelasan Fariz. Terasa seluruh anggota badannya menjadi Lemah.. Berbagai perasaan mencengkam hatinya. Sungguh hatinya terasa sangat pilu dan terharu dengan pengorbanan si anak yang selama ini dianggap derhaka.

UNTUK IBU YANG SANGAT DIKASIHI.., AMPUN KAN ANAK MU, IZINKAN ANAKMU PERGI DULU.

p/s: Gua kisahkan cerita ini bukanlah untuk bacaan dan hiburan semata, tetapi untuk mengajak lu orang semua dan diri gua sendiri berfikir dan menyelami perasaan anak2, kerana sebahagian dari gejala sosial yang berlaku dewasa ini adalah kerana kurang perhatian dan kasih sayang ibubapa terhadap anak2 mereka.

(Kepada para ibubapa... selamilah hati anak2 anda, jadikan anak2 kita sebagai kawan dan janganlah kita ego dengan gelaran sebagai ibubapa. Moral daripada cerita ini tersangatlah banyak... fikir-fikirkan lah....)

Beruk!



Pukul lapan tiga puluh minit masing-masing masuk bertugas. Cikgu Sunan masuk ke dalam darjahnya, darjah lima. Ketua darjah melaung kuat suruh murid-murid bangun. Masing-masing bangun, tapi sama seperti berbaris tadi. Malas. Cikgu Sunan tidak ambil pusing hal itu.
Separuh masa sudah berlalu. Cikgu Sunan membuat soalan kira-kira yang lain. Tiba-tiba seorang murid masuk senyap-senyap dan duduk di bangku paling belakang. Dia terlewat datang. Cikgu Sunan sedar. Dia memerhati murid itu dengan pandangan tajam, sehingga mata murid itu tidak kuasa menentangnya.
Semakin lama Cikgu Sunan memerhati, murid itu mulai gelisah. Dia pura-pura mencari sesuatu di dalam mejanya. Menggaru-garu betis yang basah dengan air embun. “Alias! Mari sini!” Cikgu Sunan memanggil murid yang datang lambat itu dengan bengis.
Murid yang bernama Alias itu bangun lambat-lambat, kemudian melangkah perlahan-lahan ke depan. Dia tahu, sebentar lagi dia pasti akan menerima habuan. Dan kawan-kawan yang lain pun sudah menduga yang Alias akan menerima habuan. Begitu selalunya.
“Berdiri di situ!” perintah Cikgu Sunan sambil jari tunjuknya menunjuk ke tepi meja tulis. Dia kembali menulis soalan-soalan di papan hitam. Alias berdiri di tepi meja dengan hati yang berdetap-detap. Bimbang. Takut. Gentar. Dia tidak dapat menduga apakah hukuman yang akan dijatuhkan oleh Cikgunya nanti akibat dia datang lambat.
Tapi kali ini dia bercadang, dia akan berterus terang saja. Dia akan bercakap benar walaupun tidak diterima oleh Cikgu Sunan.
“Mari dekat sini, Lias!” perintah Cikgu Sunan apabila dia selesai menulis soalan. Punggungnya yang lebar itu dihentak ke kerusi. Murid  yang bernama Alias ini mendekat sedikit. Dia cuma memakai seluar dan baju tanpa dua biji butang bawah. Rambutnya tidak disikat. Berkaki ayam. Betisnya bercalar-calar diguris oleh duri lorong denai yang dilaluinya.
Cikgu Sunan memerhati dari atas ke bawah. Jijik sekali. Rupa bentuk dan pakaian muridnya ini sungguh-sungguh tidak berbeza sejak darjah empat dulu lagi. Alias tidak berani memanggung kepala apabila Cikgu Sunan memerhatinya tanpa berkata sepatah pun. Kaki kanannya menenyeh-nenyeh kaki kiri. Gatal. Jarinya memintal-mintal kaki seluarnya yang lusuh itu.
“Kenapa kau datang lambat?” Akhirnya Cikgu Sunan bersuara. Alias tidak menjawab. Dia tahu walau bagaimana benar sekalipun jawapannya, dia akan kena habuan juga. Dia tahu hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya bukanlah berdasarkan sebab-sebab sama ada rumahnya jauh atau aral yang lain. Tapi kerana dia datang lambat.
“Hei beruk! Saya tanya kenapa kau datang lambat?” Cikgu Sunan hampir-hampir memekik.
Alias diam. Dia masih tunduk juga. Panggilan “beruk” kepadanya bukanlah sekali itu sahaja dan bukan sekadar cikgu Sunan seorang. Di sekolah dia sudah masyhur dengan panggilan “beruk” sebab dia membela seekor beruk.
“Pandang sini!” sergah Cikgu Sunan sambil mengangkat dagu Alias dengan pembaris panjang. Alias memanggung kepala. “Saya tanya kepada kau datang lambat?”
Dengan suara tergagap-gagap bercampur takut, Alias menjawab, “Beruk… beruk saya putus rantai, cikgu!”.
“Haaa, kalau dah putus apa yang kau buat?”. Cikgu Sunan bertanya keras. Memang dia tidak pernah beri muka kepada murid-muridnya.
“Saya cari, cikgu!”.
“Dah jumpa?”.
Alias angguk. Tersenyum.
“Sebab itu kau datang lambat?”
Angguk juga.
”Kau lebih pentingkan beruk daripada sekolah ya? Sebab tu kau pun macam beruk”. Cikgu Sunan berleter. Muka Alias dipandang dengan jijik.
“Saya sayangkan beruk saya cikgu. Dia kawan baik saya!” kata Alias dengan jujur.
Marah Cikgu Sunan naik meluap. Jawapan Alias itu sungguh menyakitkan hatinya. Dia menggaru-garu. Tubuh kurus Alias dipandangnya, bagai seekor semut.
“Kau nak main-mainkan saya, ya?” Cikgu Sunan menahan marah. Matanya bersinar-sinar.
“Tidak cikgu, saya…”
“Sudahlah!” Tiba-tiba Cikgu Sunan menempik, Serentak dengan itu satu penampar kuat hinggap di telinga kanan Alias. Alias terhuyung-hayang. Tapi tidak mengangis. Telinganya terasa bengang. Pendengarannya berdengung. Mukanya merah.
Dengan langkah yang lesu dia kembali duduk di kerusi. Kawan-kawan diam membisu. Masing-masing menumpukan perhatian kepadanya.
“Cuba kamu tengok beruk tu! Tak malu. Malas! Kamu semua jangan jadi beruk macam dia!” Cikgu Sunan bersyarah kepada murid-muridnya yang lain. Murid-muridnya diam membisu. Sekali-sekala mereka berpaling melihat Alias yang malang itu. Tapi pada Alias macam tidak ada apa-apa yang terjadi. Kalau tadi dia asyik tunduk, kali ini dia memanggung mukanya dan berwajah tenang. Begitu pun di kelopak matanya ada air yang bertakung.
Tiga hari sesudah itu Alias tidak datang ke sekolah. Daripada desas desus murid-murid yang lain, Cikgu Sunan mendapat tahu Alias sudah berhenti. Dengan tiba-tiba, dada Cikgu Sunan diserkup sayu. Sedih dan kasihan. Dia terasa macam ada suatu dosa yang telah dilakukannya terhadap Alias.
Beberapa ketika dia termenung. Dia tahu perbuatannya salah dari segi undang-undang. Tapi hari itu dia sungguh tidak tahan. Alias telah ponteng bukan sekali dua. Apabila ditanya cuma beruknya saja yang menjadi alasan. Mana hati tidak geram. Tapi apabila dia mendapat tahu bahawa Alias berhenti, perasaan hibanya tidak dapat dikawal lagi. Dia berasa tanggungjawabnya pula untuk menarik Alias supaya belajar semula hingga tamat. Dia menyesal.
Tengah hari itu Cikgu Sunan tidak terus pulang ke rumahnya. Selepas bertugas dia meminjam basikal seorang muridnya dan terus pergi ke rumah Alias yang terletak sejauh empat kilometer itu. Dia tidak memberitahu guru besar. Biarlah hal itu dia selesai sendiri.
Untuk sampai ke rumah Alias, Cikgu Sunan terpaksa melalui lorong sempit yang boleh dikatakan denai. Di kiri kanan  lorong itu banyak pokok “keman malu” dan senduduk. Berlopak-lopak. Tidak ada orang lalu-lalang.
Kampung tempat tinggal Alias sangat-sangat terpencil. Sekali-sekala terlintas juga di hati Cikgu Sunan, bahawa memang patut Alias tidak datang selalu ke sekolah. Kalau dia sendiri pun jadi Alias dia tentu tidak datang ke sekolah. Sekali lagi perasaan menyesal menumbuk di hatinya kerana perbuatannya itu tidak diselidik lebih dulu. Akhirnya sampai juga Cikgu Sunan. Dia terpaksa menyeberangi sebatang titi melintasi sebuah parit yang selebar tiga meter.
Alias tidak ada. Berkali-kali Cikgu Sunan memanggil, tapi senyap saja. Tiba-tiba seorang tua menjenguk dari lubang tingkap. Orang tua itu menjemput Cikgu Sunan naik. Cikgu Sunan menolak perlawaan itu, tapi berkali-kali pula orang tua itu menjemputnya. Akhirnya Cikgu Sunan mengalah apabila orang tua itu memberitahu yang dirinya lumpuh, tidak dapat turun.
Sekali lagi rasa sebak menyerang dada Cikgu Sunan. Rupa-rupanya kesulitan Alias berbagai-bagai jenis. Terasa mahu dikerat tangannya yang ganas itu.
“Alias ke mana mak cik?” tanya Cikgu Sunan.
“Entah, dia turun dari rumah tadi pukul sepuluh. Katanya dia nak petik buah kelapa di hujung kampung”.
“Dia panjat pokok kelapa?”
“Takkk, dengan beruknya tulah. Itulah pencariannya sejak mak cik lumpuh,” terang ibu Alias dengan hiba. Di atas alang rumah itu terdapat buku-buku Alias. Dindingnya tembus di sana sini. Tidak ada apa yang boleh dinamakan perhiasan. Cuma satu cermin bulat sebesar tempurung jantan.
“Dah lama mak cik lumpuh?” tanyanya.
“Dah hampir setahun,” terang orang tua itu lagi.
Cikgu Sunan yang duduk di muka pintu sahaja itu mengangguk-angguk. Rasa simpati kepada Alias semakin tebal.
“Saya datang ni nak tau. Mengapa Alias tak ke sekolah lagi?”.
“Entahlah. Katanya dia tak sekolah lagi. Telinganya sakit”.
Cikgu Sunan termenung panjang. Wajahnya berkerut. Sedang dia termenung itu tiba-tiba dia melihat Alias pulang, beruknya di atas bahu. Alias membimbit dua biji kelapa.
“Haa, itu pun dia dah balik,” kata Cikgu Sunan dengan tersenyum. Orang tua itu menjengguk dari lubang tingkap. Dia menyambut kepulangan anaknya dengan pandangan mata saja. Lebih daripada itu dia tidak terdaya. “Begitulah kerjanya setiap hari sejak bapaknya meninggal,” kata orang tua itu dengan sedih.
Alias yang sudah hampir sampai ke rumahnya itu terhenti seketika apabila melihat ada orang di muka pintu rumahnya. Dia macam tidak percaya orang itu ialah Cikgu Sunan. Tapi apabila dia sudah pasti benar, segera dia melepaskan buah kelapa yang dipegangnya. Beruknya diletakkan ke tanah dan dia terus meluru mendapatkan Cikgu Sunan. Dia senyum girang. Bersalam tangan.
Beruk yang ditinggalkannya itu melompat-lompat. Berkereh-kereh bunyinya, kerana orang yang berada di muka pintu rumah tuannya itu belum pernah dilihatnya.
“Dia lama cikgu sampai ?” tanya Alias.
“Baru sekejap,” jawab Cikgu Sunan.
Keramahan Alias sungguh mengejut Cikgu Sunan. Beruk yang ditinggalkan oleh Alias di halaman rumahnya itu melompat-melompat dengan suara garang. Alias menempik beberapa kali supaya diam, tapi beruk itu tetap melompat juga. Dia tidak kenal orang itu guru kepada tuannya.
Cikgu Sunan terpandang telinga kanan Alias. Telinga itu merah dan bengkak nampaknya. Dari lubangnya meleleh benda putih.
“Dekat sini Alias,” kata Cikgu Sunan dengan lembut.
Alias mendengar kata-kata itu berlainan sekali dengan perintahnya semasa sekolah. Kata-kata itu macam, kata-kata orang yang menyayanginya. Dia mendekatkan kepalanya kepada Cikgu Sunan.
“Senget sedikit kepala kau”. Cikgu Sunan berkata lagi. Alias menyengetkan kepalanya. Cikgu Sunan memegang kepala Alias dan menekannya sedikit untuk memastikan telinga Alias yang sakit itu. Tapi dengan tiba-tiba beruk yang sedang marah-marah dan melompat-lompat di halaman tadi, melompat naik lalu menggigit tangan Cikgu Sunan. Beruk itu menyangka orang itu akan menyakiti tuannya.
Cikgu Sunan mengadu sakit. Tangannya berdarah. Beruk masih bergelut. Suasana menjadi kelam-kabut. Alias menempik beberapa kali supaya beruk berlalu. Tapi tempiknya tidak diendahkan oleh beruknya. Beruk itu terus menyerang Cikgu Sunan. Demi untuk  menyelamatkan Cikgu Sunan, Alias mencapai sebatang lembing yang digunakan untuk menghimpun buah-buah kelapa, lalu dengan sekuat-kuat hatinya dia meradak lembing itu ke perut beruknya. Cuma itulah saja yang boleh menyelamatkan gurunya.
Beruk yang garang itu menjadi lemah. Terlentang di atas lantai. Sebelum menghembus nafasnya yang terakhir, mata hitamnya memandang kepada Alias dengan sayu. Kelopak mata yang berbulu itu tergenang air jernih.
Alias terpaku seketika. Ibunya juga tidak berkata apa-apa. Cikgu Sunan menahan darah di lengannya dengan sapu tangan. Tapi darah yang keluar di lengannya tidaklah sama dengan darah beruk yang telah diradak lembing tadi.
Suasana sepi. Cikgu Sunan memandang Alias, Alias memandang beruknya bagai satu mimpi. Dan ibu tua itu memandang anaknya dengan satu tafsiran yang asing.
Alias tidak dapat menahan perasaannya. Dia menangis tersedu-sedu. Air matanya berderai keluar, jatuh menimpa di atas tubuh beruk kesayangannya. Dia bangun lambat-lambat. Matanya memandang ibunya. Ibu tua itu tetap membisu. Dia tersedu-sedu.
“Terima kasih Alias.” Tiba-tiba dalam kesepian itu Cikgu Sunan berkata. Darah di lengannya masih juga keluar.
“Cikgu sakitkah?” tanya Alias antara sedu-sedannya.
“Tak mengapa, sikit saja. Err, saya balik dulu Lias.” kata Cikgu Sunan, lalu turun dari rumah itu.
“Cikgu…”
“saya minta maaf’,” kata Alias sebaik saja Ckgu Sunan memijak tangga bawah.
“Tak apa…. tapi kau mau ke sekolah lagi?”
Alias duduk. Kaku. Sedih.
“Lebih baik kau ke sekolah, hingga darjah enam” Cikgu Sunan memberi nasihat.
“Saya tidak dapat ke sekolah lagi Cikgu.” Tiba-tiba Alias menjawab sayu.
“Kenapa?”
“Beruk… Saya mencari makan dengan beruk itu cikgu.”
Dada Cikgu Sunan bagai ditikam lembing berkarat. Perkataan Alias benar-benar menusuk hatinya. Barulah dia tahu, bahawa beruk itu pada Alias merupakan tali perhubungan nyawanya selama ini.
Dia melangkah pulang dengan dada yang sebak. Tapi Alias yang terpaku di ambang pintu lebih pilu lagi.
Azizi Hj Abdullah
Dewan Bahasa, Disember 1970